Di antara cara agar seseorang mudah meraih ilmu din (ilmu agama) adalah dengan membersihkan hatinya terlebih dahulu dari berbagai noda yang mengotorinya. Kiat ini bisa ditempuh ketika seseorang ingin menghafalkan Al Qur’an dan melekatkan ilmu dalam hatinya.
Hati merupakan wadah ilmu. Semakin bersih hati seseorang, maka akan semakin mudah baginya untuk menerima ilmu. Barangsiapa yang ingin memperoleh ilmu, hendaklah ia memperbagus batinnya dan membersihkan hatinya dari berbagai penyakit hati. Karena ilmu itu ibarat permata yang lembut, yang tidak pantas dimiliki kecuali oleh hati yang bersih. Semakin bersih hati, semakin mudah ilmu itu diterima.
Oleh karenanya, siapa saja yang ingin mudah meraih ilmu, maka hendaklah ia bersihkan hatinya terlebih dahulu. Bersihnya hati adalah dengan bersih dari dua hal:
1- Bersih dari kotoran syubhat
2- Bersih dari kotoran syahwat
Bersihnya hati adalah perkara yang amat penting. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi wahyu, beliau diperintahkan untuk melakukan hal ini terlebih dahulu. Sebagaimana Allah Ta’ala firmankan,
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan pakaianmu bersihkanlah” (QS. Al Mudattsir: 4). Ayat ini ditafsirkan pula dengan bersihkanlah hatimu.
Kita pasti malu jika ada yang melihat pakaian kita yang dekil (kotor). Seharusnya kita juga merasa malu jika Allah melihat hati kita yang kotor yang penuh dosa.
Hati yang sehat adalah yang terbebas dari syahwat yang bertentangan dengan perintah dan larangan Allah, serta dari syubhat yang bertentangan dengan pemberitaan-Nya.
Kemudian, ia terbebas dari perbudakan kepada selain Allah dan pengambilan hukum kepada selain Rasul-Nya dalam takut, harap, tawakal, inabah (kembali ke jalan Allah), dan tunduk kepada Allah. Ia juga senantiasa mengutamakan ridha-Nya dan menjauhi kemurkaan-Nya.
Hati yang hidup lagi sehat dijelaskan oleh Allah di dalam Alquran. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (QS. Al Anfal [8]: 2).
Kondisi hati yang seperti itu karena telah adanya quwwatul ‘ilmi (potensi ilmu) untuk memahami, mengenal, dan membedakan kebenaran dan kebatilan serta menggunakan quwwatul iradah wal mahabbah (potensi kehendak dan cinta) untuk mencari, mencintai, dan mengutamakan kebenaran daripada kebatilan.
Hati yang demikian tidak akan mengafirmasi sebuah pemikiran jika tidak bersumber dari sumber segala kebenaran (Alquran). Hal ini adalah syarat mutlak untuk hati agar bisa membedakan antara yang benar dan salah, sehingga bisa menghilangkan penyakit-penyakit syubhat yang merusak ilmu, pemikiran, dan pengetahuan. Sebab, hanya dengan demikian, hati bisa melihat segala sesuatu sebagaimana mestinya.
Sayangnya, dalam masalah hati manusia pada umumnya kurang peka. Sangat berbeda jika fisik yang terkena masalah. Sedikit mengalami gangguan, langsung konsultasi ke dokter dan berupaya membeli serta mengonsumsi apa pun, yang diyakini bisa membantu proses penyembuhan. Sedangkan, terhadap hati, kadang sama sekali tidak dipedulikan.
Padahal, setiap noda, dosa, dan maksiat yang terdapat di dalam hati. Itu tak ubahnya unsur-unsur buruk yang terdapat di dalam tubuh, hama yang terdapat dalam tanaman dan buih pada emas, perak, tembaga, dan besi, yang menjadikan hati terus menurun kesehatannya hingga akhirnya mati.
Orang yang hatinya penuh noda apalagi sampai sakit dan mati, maka ia tidak akan lagi memiliki sifat kesatria, selalu berpikir negatif, dan enggan meninggalkan dosa. Dia pun tidak lagi tertarik mengamalkan kebenaran.
Lantas bagaimana menjadikan hati kita tetap hidup, sehat, bersih, dan senantiasa berkembang dalam amal kebajikan? Ibn Qayyim Al-Jauziyah memberikan beberapa indikator yang tentu mesti kita amalkan. Pertama, tidak akan pernah bosan membaca Alquran. Kedua, senantiasa bertobat.
Hati yang sehat sangat menyukai hal yang bisa memberi manfaat dan kesembuhan, daripada terhadap hal yang membahayakan dan menyakitkan. Kemudian, menjauhi dunia dan menempatkan diri di akhirat, sehingga seakan-akan merupakan salah satu putra penghuni akhirat. Dia datang ke dunia sebagai perantau yang mengambil sekadar kebutuhannya, kemudian kembali ke negeri asalnya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak memperhatikan rupa dan harta kalian. Akan tetapi yang Allah lihat adalah hati dan amal kalian” (HR. Muslim no. 2564).
Barangsiapa yang membersihkan hatinya, niscaya hati tersebut akan menjadi tempat bagi ilmu untuk bersemayam. Dan barangsiapa yang tidak menghilangkan kotoran dari hatinya, niscaya ilmu akan pergi meninggalkannya dan menjauhinya.
Sahal bin ‘Abdullah rahimahullah berkata, “Cahaya tidak akan masuk ke dalam hati yang di dalamnya terdapat sesuatu yang dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla”.
Siapa yang mensucikan hatinya, maka ilmu akan mudah menghampirinya. Siapa yang tidak mensucikan hatinya, maka ilmu akan pergi. Sehingga dari sini kita lihat sebagian yang meraih ilmu malah tidak memperhatikan ini. Hari-hari mereka malah lebih sering diisi dengan syahwat dan syubhat. Lihat saja mereka masih sering melihat gambar-gambar yang haram, kata-kata kotor, perbuatan mungkar, dan menikmati kemungkaran. Bagaimana orang-orang seperti ini bisa meraih ilmu.
Sahl bin ‘Abdullah rahimahullah berkata, “Cahaya ilmu sulit masuk pada hati yang masih terisi dengan sesuatu yang Allah benci.”
Wallahul muwaffiq.