Sesungguhnya ilmu yang terpuji di dalam al-Kitab dan as-Sunnah dan terpuji juga bagi pemiliknya adalah ilmu syari’at. Ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap pujian yang disebutkan di dalam al-Kitab dan as-Sunnah terhadap “ilmu” dan para pengembannya, maka yang dimaksud adalah “ilmu syari’at”, yaitu ilmu al-Kitab dan as-Sunnah serta fikih (pemahaman) terhadap agama ini. [1]
Kedudukan Ilmu
Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah menjelaskan bahwa ilmu itu pondasi dalam hal ibadah. Karena sesungguhnya tidak ada ibadah dan amal yang benar kecuali dengan dasar ilmu. Ilmu lebih didahulukan sebelum segala sesuatu, karena ibadah tidak akan menjadi benar dan diterima kecuali apabila sesuai dengan tuntunan. Dan tidak ada jalan untuk mengenali tuntunan kecuali dengan ilmu, yaitu ilmu yang benar. Dan apabila istilah ilmu disebutkan secara mutlak (tanpa batasan atau embel-embel tertentu) di dalam kalam Allah dan kalam Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian juga dalam ucapan para ulama, maka sesungguhnya yang dimaksud ialah “ilmu syari’at”.
Oleh sebab itu, para ulama mengatakan bahwa semua dalil yang berisi keutamaan ilmu maka yang dimaksudkan adalah ilmu syari’at. Seperti dalam hadits,
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا
“Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu …”
Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syari’at. [2]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Ilmu tentang Allah adalah pokok dari segala ilmu. Bahkan ia menjadi pondasi ilmu setiap hamba guna menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan diri, bekal untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sementara bodoh tentang ilmu ini menyebabkan ia bodoh tentang dirinya sendiri dan tidak mengetahui kemaslahatan dan kesempurnaan yang harus dicapainya, sehingga dia tidak mengerti apa saja yang bisa membuat jiwanya suci dan beruntung. Oleh karena itu, ilmu tentang Allah adalah jalan kebahagiaan hamba, sedangkan tidak mengetahui ilmu ini adalah sumber kebinasaan dirinya.” [3]
Ilmu Tentang Allah
Suatu ketika ada lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu. Dia berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?”
Beliau menjawab, “Ilmu.”
Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?”
Beliau menjawab, “Ilmu.”
Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!”
Ibnu Mas’ud pun menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amalmu yang sedikit atau yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” [4]
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Seorang insan selalu membutuhkan Allah ‘azza wa jalla dalam bentuk ibadah dan isti’anah/permintaan pertolongan. Adapun kebutuhan dirinya kepada Allah dalam bentuk ibadah, karena sesungguhnya ibadah itulah bahan baku (sumber) kebahagiaan dirinya. Adapun isti’anah, karena sesungguhnya apabila Allah tidak memberikan bantuan dan pertolongan kepadanya, maka Allah akan menyandarkan dia (urusannya) kepada dirinya sendiri. Sehingga itu artinya Allah menyerahkan dirinya kepada sifat ketidakmampuan, kelemahan, dan aurat/aib. Sementara tidak mungkin tegak urusan seorang insan melainkan dengan bantuan dan pertolongan dari Allah ‘azza wa jalla.” [5]
Buah Ilmu
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuahkan amalan. Kalau seorang hamba memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya, maka dia telah mengikuti jalannya orang-orang yang dimurkai –al-maghdhubi ‘alaihim-. Adapun apabila dia beramal namun tanpa landasan ilmu, maka dia telah mengikuti jalannya orang-orang yang sesat –adh-dhaallin-. Apabila ilmu dan amal itu berjalan beriringan pada diri seorang hamba maka dia telah berjalan di atas jalannya orang-orang yang diberi karunia oleh Allah; yaitu jalannya para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih. [6]
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الحِمَارُ بِرَحَاهُ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ: أَيْ فُلاَنُ مَا شَأْنُكَ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ المُنْكَرِ؟ قَالَ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ المُنْكَرِ وَآتِيهِ
“Kelak pada hari kiamat didatangkan seorang lelaki, lalu dia dilemparkan ke dalam neraka. Usus perutnya pun terburai. Dia berputar-putar seperti seekor keledai mengelilingi alat penggilingan. Para penduduk neraka berkumpul mengerumuninya. Mereka pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan, apa yang terjadi padamu. Bukankah dulu kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar?”. Dia menjawab, “Benar. Aku dulu memang memerintahkan yang ma’ruf tapi aku tidak melaksanakannya. Aku juga melarang yang mungkar tetapi aku justru melakukannya.” [7]
Catatan kaki:
[1] Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad dalam Kutub wa Rasa’il, 5: 9.
[2] Transkrip Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh beliau, hal. 6.
[3] al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 98.
[4] Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1: 133.
[5] Ahkam min al-Qur’an al-Karim, hal. 22-23.
[6] Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 21
[7] HR. Bukhari dalam Kitab Ba’du al-Khalq [3267] dan Muslim dalam Kitab az-Zuhd wa ar-Raqa’iq [2989]
Sumber : muslim.or.id