“Akan dikatakan oleh Shahibul Qur’an (di akhirat) : bacalah dan naiklah, bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membacanya dengan tartil di dunia. Karena kedudukanmu tergantung ayat terakhir apa yang engkau baca.” (HR. Abu Daud)
Seringkali, sebagian dari kita ingin menjadi penghafal Al-Quran tapi selalu saja mengeluh kesulitan ketika berada dalam prosesnya. Ada saja alasan untuk memaklumi diri hingga akhirnya hafalan stagnan, bahkan luntur dari waktu ke waktu. Tak bisa diabaikan memang, menjadi diri yang bisa banyak hal itu tidak mudah. Ada orang yang mudah dalam menghafal, sebagian lebih senang memperbanyak tilawahnya, ada juga yang mudah melakukan bidang lainnya. Utamanya, kita bisa menemukan di mana ahlinya kita, saya pikir itu sudah cukup baik. Ahli di sini spesifiknya lebih kepada amalan syar’i.
Mengapa?
Seperti halnya para sahabat Rasulullah SAW, yang memiliki amalan andalan berbeda-beda, maka, masing-masing dari kita hendaklah memiliki suatu amalan tertentu sebagai amalan andalan yang bagi kita mudah untuk dikerjakan secara rutin. Karena amalan sedikit yang dikerjakan kontinyu sungguh lebih baik dibanding amalan banyak tapi hanya sekali dilakukan. Akan tetapi, bukan berarti kita meninggalkan amalan lainnya dan fokus pada apa yang menurut kita mudah. Oleh karena, belum tentu satu amalan tersebut sudah pasti akan diterima Allah. Maka, di samping kita memiliki amalan utama, tetap kita kerjakan amalan makruf lainnya.
Misalnya di sini, menghafal Al-Quran. Kita tahu, menghafal sebagian dari Al-Quran adalah fardhu ‘ain bagi setiap insan beriman. Sedangkan, menghafal keseluruhannya ialah fardhu kifayah. Karena itu, paling tidak kita memiliki hafalan sebagian dari Al-Quran. Oleh karena, dalam hadist riwayat At-Tirmidzi dikatakan, “Sesungguhnya orang yang di dalam dadanya tidak ada Al-Quran sama sekali, tidak ubahnya seperti rumah yang rusak.”
Realitanya, masih banyak orang yang belum memiliki hafalan Al-Quran yang benar (tajwidnya). Bahkan, terkadang, beberapa orang beralasan sulit menghafal, dari pekan ke pekan hafalannya tidak bertambah, atau bukannya menambah hafalan malah mengganti hafalan lama dengan hafalan baru. Fenomena ini membuat saya berpikir, “Bagaimana cara memperbaiki untuk ke depannya?”
Menghafalkan Al-Quran itu mudah, mengutip Ust. Abdul Aziz Abdur Rauf. Jujur, saya awalnya tak percaya, dengan perkataan seperti itu. “Gimana caranya? Al-Quran itu kan jumlahnya 30 juz/114 surat/terdiri dari 6236 ayat. Belum lagi, banyak surat dengan surat lainnya yang memiliki kalimat yang hampir sama.” Namun ternyata, di antara mereka yang belum berhasil, banyak juga orang yang bisa menghafalkan seluruh ayat Al-Quran, juga paham isi kandungan dari setiap ayat yang dihafalkan. Mulai dari usia balita, pemuda, orang tua, semua pernah saya dengar/baca bisa selesai menghafalkan Al-Quran. Lalu, apa yang membuat kita ragu untuk menghafal?
Kuncinya, mulai dari sekarang. Kalau bukan kita lantas siapa lagi? Kitab yang Allah jaga kemurniannya hingga hari kiamat ini siapa yang akan menghidupkan kalau bukan penganutnya sendiri?
Ketahuilah, para penghafal Alquran mengemban misi dan tugas yang mulia. Mereka akan mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat kelak. Secara tegas, Allah memuliakan para hafiz itu melalui lisan Rasul-Nya, Muhammad SAW.
Penghafal Kitab Suci itu, seperti dinukilkan oleh Imam Tirmidzi dalam riwayatnya, akan berhias dengan mahkota kemuliaan. Ini karena Sang Khaliq memberikan keridhaan pada yang bersangkutan. Kebaikannya pun akan bertambah, tiap kali melantunkan satu ayat.
Para penghafal Alquran, seperti ditegaskan pula di hadis riwayat Ahmad, adalah ‘keluarga’ Allah di muka bumi. Keutamaan inilah yang mendorong Rasul memuliakan para sahabat penghafal Alquran. Ketika Perang Uhud meletus, tak sedikit sahabat yang gugur dalam pertarungan itu. Rasul selalu mendahulukan para penghafal Alquran untuk dimakamkan lebih dulu. “Manakah di antara mereka yang hafal Alquran?” demikian jawaban Rasul atas pertanyaan sahabat.